____TAJWID_____
andri prasetiyo
Sabtu, 27 Juni 2020
Minggu, 06 November 2016
Sejarah Peradaban Islam
PERADABAN ISLAM PADA MASA DINASTI
UMAYYAH
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Sejarah
Peradaban Islam
Dosen
Pembimbing :
Drs. M. Ardi.M.Pd
DISUSUN OLEH : ANDRIPRASETIYO
NPM : 1501010242
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI(STAIN)
JURAI SIWO METRO
TAHUN 2016/2017
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bangsa yang maju dan beradap adalah bangsa yang tidak terlepas dari
beradaban (civilization) dan memakaikan agama (religion) sebagai
baju bangganya, HAR. Gibb (1859-1940) mengatakan, Islam is a complete
civilization (Islam adalah sebuah peradaban yang sempurna).
Meskipun demikian, kenyataannya masyarakat masih banyak yang belum
mengerti betul apa itu peradaban dan Islam sebagai agama yang sempurna belum
masuk di hati bangsa ini.Ro aitu al-Muslimah duna al-Islam, wa ro aitu
al-Islama duna al-Muslimah, yaitu nilai-nilai Islam dapat ditemukan di
tengah-tengah non-Muslim, dan sebaliknya nilai-nilai non-Muslim banyak
ditemukan pada masyarakat Islam. Mengapa? Karena masyarakat Muslim sekarang
sudah banyak melakukan penyimpangan-penyimpangan yang membuat Islam sendiri
runtuh dari nilai tauhidnya.Dalam perkembangan dan tuntutan zaman yang semakin
lama dikuasai oleh non-Muslim, alangkah baiknya, sebagai negara yang
menghormati peradaban dan sejarah. Khususnya Muslim ditekankan mengetahuai
sejarah-sejarah nenek moyang yang sudah mendahuluinya sebagai bahan renungan
dan pembelajaran.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah Berdirinya Bani Umayyah ?
2. Bagaimana
masa Kemajuan Bani Umayyah ?
3. Bagaimana
masa Kemunduran Bani Umayyah?
Tujuan Masalah
1. Untuk
mengetahui Berdirinya Bani Umayya
2. Untuk mengetahui Kemajuan Bani Umayyah
3.
Untuk
mengetahui Kemunduran Bani Umayyah
BAB II
PEMBAHASAN
PERADABAN
ISLAM PADA MASA DINASTI UMAYYAH
A.
Masa kejayaan Dinasti Umayyah
Memasuki masa kekuassan muawiyah yang menjadi awal kekuasaan Bani
Umayyah, pemerintahan yang bersifat demokratis berubah menjadi monarchiheridetis
(kerajaan turun temurun). Kekhalifahan muawiyah diperoleh melalui
kekerasan, diplomasi, dan tipu daya, tidak dengan pemilihan atau suara
terbanyak. Suksesi kepemimpinan secara turun temurun dimulai ketika Muawiyah
mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyartakan setia terhadap anaknya, Yazid.
Muawiyah bermaksud mencontoh monarchi di Persia dan Bizantum. Dia memang
tetap menggunakan istilah khalifah, namun, dia menggunakakn interpretasi baru
dari kata-kata itu untuk menggunakan jabatan tersebut. Dia menyebutkan “khalifah
Allah” dalam pengertian “penguasa” yang diangkat oleh Allah.[1]
Kekuasaan Bani
Umayah berumur kurang lebih 90 tahun. Ibu kota negara dipindahkan Muawiyah dari
Madinah ke Damaskus, tempat ia berkuasa sebagai gubernur sebelumnya.
Khalifah-khalifah besar dinasti Bani Umayyah ini adalah Muawiyah ibn Abi Sufyan
(660-680M), Abd Al-Malik ibn Marwan (685-705M), Umar ibn Abd al-Aziz
(717-720M). dan Hasyim ibn Abd Al-Malik (724-743M).
Ekspansi yang terhenti pada masa
khalifah Usman dan Ali dilanjutkan kembali oleh dinasti ini. Di zaman Muawiyah,
Tunisia dapat ditaklukan. Di sebelah Timur, Muawiyah dapat menguasai daerah
Khurasan sampai ke sungai Oxus dan Afganistan sampai ke Kabul. Angkatan lautnya
melakukan serangan-serangan ke ibukota Bizantium, Konstantinopel. Ekspansi ke
timur yang dilakukan Muawiyahkemudian dilanjutkan oleh Khalifah Abd Al-Malik. Dia mengirim tentara menyebrangi sungai Oxus dan dapat berasil mendudukan Balkh, Bukhara, Khawariz, Ferghana, dan Samarkand. Tentaranya bahkkan sampai ke india dan dapat menguasai Balukhistan, Sind, dan daerah Punjab sampai ke Maltan.[2]
Ekspansi ke barat
secara besar-besaran dilanjutkan ke zaman Al-Walid ibnAbdul Malik. Masa
pemerintahan Walid adalah masa ketentraman, kemakmuran, dan ketertiban. Umat
Islam mereka hidup bahagia. Pada masa pemerintahaanya yang berjalan kurang
lebih sepuluh tahun itu tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara
menuju wilayah barat Daya, benua Eropa, yaitu pada tahun 711 M. Setelah
Aljazair dan Marokko dapat ditundukan, Tariq bin Ziad, pemimpin pasukan Islam,
Dengan pasukannya menyebrangi selat yang memisahkan antara Maroko dengan benua
Eropa, dan mendarat di suatu tempat yang sekarang dikenal dengan nama Gibraltar
(Jabal Tarik). Tentara Sepanyol dapat dikalahkan. Dengan demikian, Spanyol
menjadi ekspansi selanjutnya. Ibu kota Spanyol, Kordava, dengan cepat dapat
dikuasai. Menyusul setelah itu kota-kota lain seperti Seville, Elvira dan
Toledo yang dijadikan ibu kota Spanyol yang baru setelah jatuhnya Kordava[3].
Pasukan Islam memperoleh kemenangan dengan mudah karena mendapat dukungan dari
rakyat setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman penguasa. Dizaman
Umar ibn Abd Al-Aziz, serangan dilakukan keprancis melalui pegunungan Piranee.
Serangan ini dipimpin oleh Abd Al-Rahman ibn Abdullah Al-Ghafiqi. Ia mulai
dengan menyerang Tours, Al-Ghafiqi terbunuh dan tentaranya mundur kembali ke
Spanyol. Di samping daerah-daerah tersebut diatas pulau-pulau yang terdapat di
laut Tengah juga jatuh ke tangan Islam pada zaman Bani Umayyah.
Dengan keberhasilan ekspansi ke
beberapa daerah, baik ditimur maupun barat, wilayah kekuasaan Islam masa Bani
Ummayah ini betul-betul sanagt luas Daerah-daerah itu meliputi Spanyol, Afrika
Utara, Sriya, Palestina, jazirah Arabia, Irak,Sebagian Asia kecil, Persia, Afganistan, daerah
yang sekarang disebut Pakistan, Purkmenia, Uzbek, dan Kirgis di Asia Tengah.
Di samping ekspansi kekuasaan islam, Bani Ummayah juga banyak
berjasa dalam pembangunan di berbagai bidang. Muawiyah mendirikan dinas pos dan
tempat-tempat tertentu dengan menyediakan kuda yang lengkap serta peralatannya
disepanjang jalan. Dia juga berusaha menertibkan angkatan bersenjata dan
mencetak uang. Pada masanya, jabatan khusus seorang hakim (qadhi) mulai
berkembang menjadi profesi tersendiri, Qadhi adalah spesialis dibidangnya. Abd
Al-malik mengubah mata uang Bizantium dan Persia yang dipakai di daerah-daerah
yang dikuasai islam. Untuk itu, dia mencetak uang tersendiri pada tahun 659 M
dengan memakai kata-kata dan tulisan Arab. Khalifah Abd Al-Malik juga berhasil
melakukan pembenahan-pembenahan administrasi pemerintahan dan memberlakukan
Bahasa Arab sebagian Bahasa resmi administerasi pemerintahan islam.
Keberhasilan Khalifah Abd Al-Malik diikuti oleh putranya Al-Walid ibn Abd
Al-Malik (705-715 M) seorang yang berkemauan keras dan berkemampuan
melaksanakan pembangunan. Dia membangun panti-panti untuk orang cacat. Semua
personel yang terlibat dalam kegiatan yang humanis ini digaji oleh negara
secara tetap. Dia juga membangun jalan-jalan raya yang menghubungkan suatu
daerah dengan daerah lainnya, pabrik-pabrik, gedung-gedung pemerintahan dan
masjid-masjid yang megah.
B.
Kemajuan Bidang Peradaban
Menurut Jurji Zaidan (George Zaidan) beberapa kekemajuan dalam
bidang pengembangan ilmu pengetahuan antara lain sebagai berikut :
1.
Pengembangan Bahasa Arab
Para penguasa dinasti Umayah telah menjadikan
Islam sebagai daulah (negara) kemudian dikuatkannya dan dikembangkanlah Bahasa
dalam wilayah kerajaan Islam.Upaya tersebut
dilakukan dengan menjadikan Bahasa Arab sebagai Bahasa resmi dalam tatausaha
negara dan pemerintah sehingga pembukuan dan surat-menyurat harus menggunakan Bahasa Arab, yang sebelumnya
menggunakan Bahasa romawi atau Bahasa Persia di daerah-daerah jajahan mereka
dan Persia sendiri.
2.
Marbat Kota Pusat Kegiatan Ilmu
Dinasti Umayyah juga mendirikan sebuah kota kecil sebagai pusat
kegiatan Ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Pusat kegiatan Ilmu dan kebudayaan
itu dinamakan Marbat, kota satelit Dari Damaskus
3.
Ilmu Qiraat
Ilmu Qiraat adalah ilmu seni baca al-Qur’an. Ilmu qiraat merupakan
ilmu syariat tertua, yang telah dibina sejah Zaman Khulafaurosidin. Kemudian
masa Dinasti Umayyah dikembangluaskan sehingga menjadi cabang ilmu syariat yang
sangat penting. Pada masa ini lahir para ahli Qiraat ternama seperti Abdullah
bin Qusair (w. 120 H) dan Ashim bin Abi Nujud (w. 127 H)
4.
Ilmu Hadis
Ketika kaum muslim telah berusaha memahai Al-Qur’an ternyata ada
satu hal yang juga sangat mereka butuhkan, yaitu ucapan-ucapan Nabi yang
disebut Hadis. Oleh karena itu lah,timbullah usaha untuk mengumpulkan hadis,
menyelidiki asal usulnya, sehingga akhirnya menjadi suatu ilmu tersendiri yang
dinamakan ilmu hadis.
5.
Ilmu Fiqh
Setelah Islam menjadi daualh, maka para penguasa sangat membutuhkan
adanya peraturan-peraturan untuk menjadi pedoman dalam menyelesaikan berbagai
masalah, Mereka kembali kepada Al-Qur’an dan hadis mengeluarkan Syariat dari
kedua sumber tersebut untuk mengatur dan memimpin rakyat
6.
Ilmu Tafsir
Untuk memahami Al-Qur’an sebagai kitab suci diperlukan interpretasi
secara komperehenship. Minat untuk menafsirkan Al-Qur’an dikalangan umat Islam
bertambah. Pada masa perintisan ilmu Tafsir,ulama yang membukukan ilmu Tafsir
yaitu Mujahid (w. 104 H)
7.
Ilmu Nahwu
Pada masa Dinasti Umayyah karena wilayahnya berkembang secara luas,
khususnya ke wilayah diluar Arab, maka ilmu nahwu sangat diperlukan. Hal
tersebut disebabkan pula bertambahnya orang-orang ajam (non-arab) yang masuk
Islam, sehingga keberadaan Bahasa Arab sangat dibutuhkan
8.
Ilmu Jughrafi dan Tarikh
Masa dinasti Umayyah telah berkembang menjadi ilmu tersendiri.
Demikian pula Ilmu Tarikh, Baik sejarah umum sejarah Islam Khususnya
9.
Usaha Penerjemahan
Untuk kepentingan pembinaan dakwah Islamiyah, pada masa Dinasti Umayyah
dimulai pula penerjemahan buku-buku Ilmu pengetahuan dari Bahasa-bahasa Lain ke
dalam Bahasa Arab[4]
C. Masa kemunduran Dinasti Umayyah
Meskipun
keberhasilan banyak dicapai dinasti ini, namun tidak berarti bahwa politik
dalam negri dapat dianggap stabil. Muawiyah tidak menaati isi perjaniannya
dengan Hasan ibn Ali ketika dia naik tahta, yang menyebutkan bahwa personal
penggantian pemimpin setelah Muawiyah diserahkan kepada pemilihan umat islam.
Deklarasi penganggakan anaknya Yazid sebagai putra mahkota menyebahkan
munculnya gerakan-gerakan oposisi di kalangan masyarakat yang mengakibatkan
terjadinya perang saudara beberapa kali dan berkelanjutan.
Ketika Yazid naik tahta. Sejumlah
tokoh terkemuka dimadinah tidak mau menyatakan setia kepadanya. Yazid kemudian
mengirim surat kepada gubernur Madinah, memintanya untuk memaksa penduduk untuk mengambil sumpah
setia kepadanya. Dengan cara ini, semua orang terpaksa tunduk, Husein ibn Ali
dan Abdullah ibn Zubair. Bersamaan dengan itu, Syi,ah (pengikut ali) melakukan
konsolidasi (penggabungan) kekuatan kembali. Perlawanan terhadab Bani Umayyah
dimulai oleh Husein ibn Ali. Pada tahun 680 M, ia pindah dari Makkah ke Kufah
atas permintaan golongan Syi’ah yang ada di Irak. Umat Islam di daerah ini
tidak mengakui Yazid. Mereka mengangkat Husein sebagai Khalifah. Dalam
pertempuran yang tidak seimbang dikarbela, sebuah daerah didekat Kufah, tentara
Husein kalah dan Husein sendiri terbunuh. Kepalanya dipenggal dan dikirim ke
Damaskus, sedang tubuhnya dikubur di Karbela.
Perlwanan orang-orang Syi’ah tidak padam dengan terbunuhnya Husein.
Gerakan mereka bahkan menjadi lebih keras lebih gigih, dan tersebar luas.
Banyak pemberontakan yang dipelopori kaum Syi’ah terjadi. Yang termashur
diantaranya adalah pemberontakan Mukhtar di kufah pada tahun 685-687 M. Mukhtar
mendapat banyak pengikut dari kalangan kaum Mawali, yaitu umat islam
bukan Arab, berasal dari Persia, Armenia, dan lain-lain yang pada masa Bani
Umayyah dianggap sebagai warga negara kelas dua. Muhtar terbunuh dalam peperangan
melawan gerakan oposisi lainnya gerakan Abdullah ibn Zubair.[5]
Namun, ibn Zubair zuga tidak berhasil menghentikan gerakan Syi’ah
Abdullah ibn Zubair membina gerakan oposisinya
di Makkah setelah dia menolak sumpah setia terhadap Yazid. Akan tetapi, dia
baru menyatakan dirinya secara terbuka sebagai Khalifah setelah Husein ibn Ali
terbunuh. Tentara Yazid kemudian mengepung Makkah. Dua pasukan bertemu dan
pertemuan pun tak terhindarkan. Namun, Peperangan terhenti karena Yazid wafat
dan tentara Bani Umayyah kembali ke Dmaskus. Gerakan Abdullah ibn Zubair baru
dapat dihancurkan pada masa Kekhalifahan Abd Al-Malik tentara Bani Umayyah
dipimin Al-Hajjaj berangkat menuju Thaif, kemudian ke Madinah, dam akhirnya
meneruskan perjalanan ke Makkah. Ka’bah diserbu. Keluarga
Zubair dan sahabatnya melarikan diri, sementara ibn Zubair sendiri dengan gigih
melakukan perlawanan sampai akhirnya terbunuh pada tahun 73H/ 692 M.
Selain gerakan diatas, gerakan-gerakan anarkis
yang dilancarkan kelompok Khawarij dan Syi’ah juga dapat diredakan. Keberasilan
memberantas gerakan-gerakan itulah yang membuat orientasi pemerintahan dinasti
ini dapat diarahkan kepada pengamanan daerah-daerah kekuasaan di wilayah timur
(meliputi kota-kota di sekitar Asia Tengah) dan wilayah Afrika bagian utara, bahkan
membuka jalan menaklukan Spanyol.
Hubungan pemerintah dengan golongan oposisi membaik pada masa
pemerintahan Khalifah Umar ibn Abd Al-Aziz (717-720 M). Ketika dinobatkan
sebagai Khalifah, dia menyatakan bahwa memperbaiki dan meningkatkan negri yang
berada dalam wilayah islam lebih baik dari pada menambah perluasannya. Ini
berarti bahwa prioritas utama adalah pembangunan dalam negri.Meskipun
pemerintahannya singkat, Dia berasil menjalin hubungan baik dengan golongan
Syi’ah. Dia juga memberi kebebasan kepada penganut agama lain untuk beribadah
sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya. Pajak diperingan. Kedudukan mawali
disejajarkan dengan muslim Arab.
Sepeninggalan Umar
ibn Abd Al-Aziz, kekuasaan Bani Umayah berada di bawah Khalifah Yaziz ibn Abd
Al-Malik (720-724 M). Penguasa yang satu ini terlalu gandrung kepada kemewahan
dan kurang memerhatikan kehidupan rakyat. Masyarakat yang sebelumnya hidup dalam
ketentraman dan kedamaian, pada Zamannya berubah menjadi kacau. Dengan latar
belakang dan kepentingan etnis politis, masyarakat menyatakan konfirmasi
terhadap pemerintahan Yaziz ibn Al-Malik. Kerusuhan terus berlanjut hingga masa
pemerintahan Khalifah berikutnya, Hisyam ibn Abd Al-Malik (724-743 M), Bahkan,
di Zaman hisyam ini muncul satu kekuatan baru yang menjadi tantangan berat bagi
pemerintahan Bani Umayyah,. Kekuatan itu berasal dari kalanagn Bani Hasim yang
didukung oleh golongan mawali dan merupakan ancaman yang sangat serius.
Dalam perkembangan berikutnya, kekuatan baru ini mampu menggulingkan dinasti
Bani Umayyah dan menggantikan dengan dinasti baru, Bani Abbas.
Sepeninggalan
Hisyam Abd Al-Malik, Khalifah-khalifah Bani Umayyah yang tampil bukan hanya
lemah tetapi juga bermoral burukhal ini memperkuat golongan oposisi. Akhirnya
pada tahun 750 M, daulat Umayyah digulingkan Bani Abbas yang bersekutu dengan
Abu muslim Al-Khurasani. Marwan bin Muhamad, khalifah terahir bani Umayyah
melarikan diri ke mesir, ditangkap dan dibunuh di sana.
D.
Faktor-faktor runtuhnya Dinasti Bani Umayyah
Faktor-faktor yang menyebabkan dinasti Bani Umayyah lemah dan
membawanya kepada kehancuran. Faktor-fakrto itu antara lain adalah :
- Sistem pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah sesuatu yang baru bagi tradisi Arab yang lebih menekankan aspek senioritas. Pengaturanya tidak jelas. Ketidakjelasan system pemerintah Khalifah ini menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat di kalangan anggota keluarga istana.[6]
- Latar belakang terbentuknya dinasti Bani Umayyah tidak bisa dipisahkan dari konflik-konflik politik yang terjadi di masa Ali. Sisa-sisa Syi’ah (pengikut Ali) dan Kawarij terus menjadi gerakan oposisi, baik secara terbuka, seperti dimasa awal dan ahir maupun secara tersembunyi seperti di masa pertengahan kekuasaan Bani Umayyah. Penumpasan terhadap gerakan-gerakan ini banyak menyedot kekuatan pemerintah
- Pada masa kekuasaan Bani Umayyah, pertentangan etnis antara suku Arabia Utara (bani Qays) dan Arabiya selatan (Bani Kalb) yang sudah sejak jaman sebelum islam makin meruncing. Perselisihan ini mengakibatkan para penguasa Bani Umayyah mendapat kesulitan untuk menggalang persatuan dan kesatuan.[7] Disamping itu, sebagian besar golongan mawali (non-Arab),terutama di Irak dan wilayah bagian timur lainnya, merasa tidak puas karena status mawali itu menggambarkan suatu inferioritas, ditambah dengan keangkuhan bangsa Arab yang diperhatikan pada masa Bani Umayyah.
- Lemahnya pemerintah daulat Bani Umayyah juga disebabkan oleh sikap hidup mewah di kalanagan istana sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan. Di samping itu, golongan agama banyak yang kecewa karena perhatian penguasa terhadap perkembangan agama sangat kurang.
- Penyebab langsung tergulingnya kekuasaan dinasti Bani Umayyah adalah munculnya kekuasaan baru yang dipelopori oleh keturunan Al-Abbas ibn Abd Al-Muthalib. Gerakan ini mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim dan golongan Syi’ah dan kaum Mawali yang merasa dikelasduakan oleh pemerintahan Bani Umayyah.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Masa kekhalifahan Bani Umayyah yang hanya berumur 89 tahun yaitun
di mulai pada masa Muawiyyah bin Abu Sofyan ini banyak mengalami kemajuan
perkembangan yang cukup pesat.
Pada masa
Muawiyyah bi Abu Sofyan perluasan wilayah yang terhenti pada masa khalifah
Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib di lanjutkan kembali.
Ekspansi ke Barat secara besar-besaran di lanjutkan di zama
Al-Walid bin Abdul Malik. Masa pemerintahan Al Walid adalah masa ketentraman,
kemakmuran, dan ketertiban.
Disamping ekspansi kekuasaan Islam, Bani Umayyah juga banyak
berjasa dalam pembangunan di berbagai bidang. Muawiyyah bin Abu Sofyan
mendirikan dinas pos dan tempat-tempat tertentu dengan menyediakan kuda yang
yang lengkap dengan peralatanya di sepanjang dalam. Dia juga berusaha
menertibkan angkatan bersenjatan dan mencetak mata uang. Pada masanya, jabatan
khusus seorang hakim atau qodhi mulai berkembang menjadi profesi tersendiri.
Qodhi adalah seorang spesialis di bidangnya.
DAFTAR PUSTAKA
Yatim Badri.2010.Sejarah Peradaban Islam. Jakarta : Rajawali
Pers
Amin
Samsul Munir.2009.Sejarah peradaban Islam. Jakarta : Amzah
[1] Tentang
peradaban antara system pemerintahan masa khilafah Rasyidah dan masa dinasti
Umayyah ini, baca: Abu A’la Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, (Bandung
: Mizan, 1984)
[2]
Harun Nasution,op,
cit., hlm. 61.
[3] Hasan Ibrahim Hasan,
op. cit., hlm 91.
[4] Jurjuri Zaidan, Tarikh
Adab Laughah Al-Arabiyah, Jilid 2, Cairo : Darul Hilal, hlm. 236-259.
[5]
W. Montgomery
Watt, Kejayaan Islam :Kajian Kritis dari tokok orientalis, (Yokyakarta :
Tiara Wacana Yokya, 1990), hlm, 23.
[6]
Philip k. Hitti,
History of the Arabs,(London : Macmillan, 1970) .hlm 281.
[7]
Syet Amer Ali, A Short history of the Saracens,(New Delhi, Kitab Brafan,
1981) hlm. 169-170
Langganan:
Postingan (Atom)